Peras Pengusaha agar Bisa Maju Pilkades, Kades di Lebak dan Suaminya Jadi Tersangka

Peras Pengusaha agar Bisa Maju Pilkades, Kades di Lebak dan Suaminya Jadi Tersangka
Kades Pagelaran dan suaminya saat menjalani sidang perdana kasus korupsi pengurusan sertifikat tanah untuk tambak udang di Pengadilan Tipikor Serang. Selasa (19/3/2024).(KOMPAS.COM/RASYID RIDHO)

MimbarDesa.com - Herliawati, mantan Kades Pagelaran, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, Banten dan suaminya, Yadi Haryadi menjadi tersangka kasus pungutan liar (pungli).

Pasangan suami istri tersebut didakwa menerima uang pungli dari perusahaan tambak udang, PT Royal Gihon Samudra (RGS) sebesar Rp 310 juta selama rentang tahun 2021 hingga 2023.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Serang pada Selasa (19/3/2024) terungkap bahwa Herliawati dan suaminya nekat melakukan pungli karena membutuhkan uang untuk biaya pemilihan kepala desa (pilkdades) tahun 2021.

Akibat pungli tersebut, Herliawati pun dicopot dari jabatannya sebagai kepala desa.

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Lebak Seliya Yustika Sari masa kontestasi pemilihan Kepala Desa Pagelaran dilakukan pada Oktober 2021.

Saat itu Herliawati meminta dana Rp 200 juta kepada PT RGS sebagai fee pengurusan administrasi tanah warga yang belum bersertifikat untuk usaha tambak udang.

PT RGS berencana melakukan investasi usaha tambak udang di Desa Pagelaran, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak pada tahun 2021.

Untuk investasi usaha tambak udang tersebut, PT RGS membutuhkan lahan seluas kurang lebih 31 hektar.

Tolak tanda tangan dokumen

Dalam rangka mencari lahan, Direktur Operasional PT RGS Gono Joko Mulyono kemudian meminta bantuan Farid Maulana dan Muhamad Ridwan untuk jual beli tanah.

Keduanya kemudian bertemu dengan Herliawati selaku Kepala Desa Pagelaran untuk meminta bantuan.

Kala itu, Herliawati dan suaminya meminta fee Rp 5 juta per meter untuk pengurusan lahan. Namun hal itu tak ditanggapi oleh Farid.

Farid kemudian meminta bantuan warga Desa Pagelaran untuk mengidentifikasi pemilik lahan, serta mendatangi pemilik langsung guna melakukan negosiasi harga.

"Dari lahan seluas kurang lebih 31 hektar yang sedianya akan dibeli oleh PT RGS untuk tambak udang terdapat 37 bidang lahan milik warga, dengan total luas sekitar 23 Hektar yang ternyata belum bersertifikat," kata Seliya.

Sekitar Juli atau Agustus tahun 2021, Herliawati kembali didatangi oleh Farid di rumahnya dengan membawa dokumen surat-surat tanah yang belum bersertifikat yang akan dibeli oleh PT RGS.

Saat bertemu, Herliawati menolak menandatangani dokumen atau surat karena belum menerima uang yang dimintanya saat pertemuan pertama.

Akhirnya, Herliawati meminta Farid dan Ridwan "jatah" Rp 1,5 juta per meter dari luas lahan yang belum bersertifikat.

"Atas perhitungan Herliawati dan suaminya total uang yang harus dibayar sebesar Rp 345 juta," ujar Seliya.

Saat itu Farid dan Ridwan hanya bisa memberi uang Rp 100 juta. Setelah menerima Rp 100 juta, Herliawati mau menandatangani dokumen untuk pembuatan sertifikat tanah, yang sebelumnya ia tolak.

Sisa yang dibayarkan secara bertahap karena Farid berada dalam posisi terpaksa, yakni sejak Oktober 2021 hingga Mei 2023.

"Uang itu diminta sebagian guna keperluan pemilihan kepala desa dimaksud atau setidak-tidaknya untuk kepentingan terdakwa," kata Seliya.

Sisanya, kata Seliya, uang akan diberikan secara bertahap hingga total uang fee sebesar Rp 345 juta dibayarkan lunas.

Angka itu atas permintaan kedua terdakwa yakni Rp 1.500 per meter untuk 23 hektar lahan yang belum bersertifikat.

Ancam lakukan demo

Pada awal tahun 2022, Farid dan Ridwan mentransfer Rp 10 juta, kemudian di Februari 2022 kembali menyerahkan Rp 10 juta.

Pada 12 dan 18 Maret 2022, kedua terdakwa kembali menerima uang masing-masing Rp 10 juta.

Selanjutnya, tanggal 12 Juli, 7 Agustus, dan 15 September 2022, Farid mentransfer ke rekening atas nama Herliawati Rp20 juta.

Selanjutnya "cicilan" terhenti. Hingga pada suatu ketika, kedua terdakwa datang menagih kekurangan fee ke rumah Farid.

"Datang ke rumah saksi Farid untuk menagih sisa uang pengurusan surat-surat tanah yang belum bersertifikat tersebut, dan mendesak untuk menandatangani surat pernyataan," ujar Seliya.

Namun, hingga bulan Maret 2023, Farid tak kunjung membayar sisanya. Terdakwa pun kembali mendatangi rumah Farid, bahkan kali ini dengan nada tinggi dan kata-kata kasar.

Lalu pada 4 Mei 2023, suami kades Yadi Haryadi merencanakan demo dengan mengerahkan warga. Saat itu, warga diminta untuk menuntut perusahaan agar dapat mempekerjakan mereka di lokasi tambak udang.

"Padahal Yadi Haryadi memiliki kepentingan untuk meminta sisa uang pengurusan dokumen atau surat keterangan terkait tanah yang belum bersertifikat," kata dia.

Akibat demonstrasi ini, Farid akhirnya terpaksa memberikan uang Rp 110 juta, dan warga pun membubarkan diri.

"Ada pun total jumlah uang yang telah diberikan oleh saksi Farid secara terpaksa untuk Herliawati dan Yadi Haryadi atas permintaan adalah Rp 310 juta," tandas dia.

Herliawati dan suaminya, Yadi dijerat pidana berdasarkan ketentuan Pasal 12 huruf e dan atau Pasal 12 B dan atau Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. *

Berita Lainnya

Index