Menguak Asal Usul Malang, dari Sebuah Desa Kuno di Abad 12

Menguak Asal Usul Malang, dari Sebuah Desa Kuno di Abad 12

MIMBARDESA- Malang merupakan suatu nama daerah yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Lokasinya menjadi salah satu destinasi wisata favorit bagi masyarakat di Indonesia. Dimana secara administrasi wilayah Malang terbagi menjadi dua yakni Kabupaten Malang dan Kota Malang. Tetapi mengenai asal usul kata Malang sendiri ternyata memiliki sejarah panjang.

Sejarawan Universitas Malang (UM) Dwi Cahyono menyatakan, nama Malang berasal dari sebuah nama desa kuno yang berada di timur Gunung Kawi. Nama desa bernama Malang ini terukir dalam sebuah prasasti yang dinamakan Prasasti Ukirnegara yang berangka tahun 1120 Saka atau 1198 Masehi. 

Pada prasasti tembaga Ukirnegara yang ditemukan di perkebunan Bantaran di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar bertuliskan “taning sakrid Malang-akalihan, wacid lawan macu pasabhanira, dyah Limpa Makanagran I...”, atau dapat diartikan sebagai di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang, bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu..”

“Itu paling tidak abad ke-12 akhir, ada daerah tempat yang namanya Malang, tempatnya di sebelah timur Gunung Kawi, jadi bukan dari nama Malang kucecwara, itu beda konteks lagi karena itu nama bangunan suci,” ucap Dwi Cahyono

Nama Dyah Limpa sendiri disebut Dwi muncul karena memang tertulis di prasasti itu. Lantas siapa sosok Dyah Limpa yang disebut pada prasasti yang menjadi cikal bakal desa kuno Malang, arkeolog UM ini hanya menyatakan sosoknya bertempat tinggal di Gasek, yang sekarang masuk wilayah dari Kelurahan Karangbesuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang.

“Tempat itu berada di wilayah Watak, Pamoto, di wilayah Keposekan Diah Limpa. Jadi jadi jelas Diah Limpa tinggalnya dimana, tinggalnya di Gasek, Gasek itu karang Besuki, berarti Malang dengan Gasek itu tidak terlalu jauh,” ungkapnya.

Menurutnya, saat itu Kota Malang saat ini masih hutan belantara, sedangkan desa kuno itu sudah ada terlebih dahulu. Dimana hutan belantara itu tempat perburuan binatang dan banyak binatang buasnya.

“Tengah kota Malang (Kota Malang saat ini) ini kan hutan, (kawasan) Kayutangan itu hutan Patangtangan, jadi tempat yang banyak binatang buasnya, di tempat yang sekarang ini ya pusat Kota Malang ini hutan yang banyak binatang buruannya,” ujarnya.

Bahkan ia menyebut, Gunung Buring yang ada di timur Kota Malang saat ini disebut juga Gunung Malang. Sementara tak jauh dari Gunung Buring, terdapat nama Demang Malang, dimana berarti ada nama Kademangan Malang, yang berarti sebutan untuk desa yang lebih luas.

“Ada Demang namanya Demang Malang berarti ada Kademangan Malang. Demang Malang makamnya ada. Ada Kademangan Malang, pada masa kolonial (pemerintah Hindia Belanda) ada distrik Malang,” jelasnya.

“Itu kan nama tempat, Kademangan Demang semacam desa, tapi desa yang luas. Berarti ada desa yang namanya Malang, wong namanya Demang Malang,” imbuhnya.

Berangkat dari sanalah Dwi Cahyono menyatakan perkiraan Desa Malang itu berada di sekitar Kelurahan Kota Lama saat ini, sebab di daerah Kota Lama ditemukan makam Demang Malang.

“Ketemu di daerah Kota Lama situ makamnya Demang Malang, berarti Desa Malang itu di mana, ya di sekitar Kota Lama,” katanya.

Dari sebuah desa itulah kemudian wilayah Malang berkembang terus hingga menjadi Kabupaten Malang. Kemudian oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dimunculkanlah pemerintahan Kota Malang yang menjadi cikal bakal Kota Malang saat ini.

“Jadi nama Malang berasal dari mana, ya nama Malang saja, nama desa, dari nama desa berkembang - berkembang menjadi nama daerah, Malang itu nama tempat, yang kemudian berkembang dari desa kemudian menjadi kademangan, kebetulan muncul Demang Malang,” paparnya.

“Kemudian Distrik Malang, pada masa kolonial. Kemudian mekar lagi menjadi Kabupaten Malang, kemudian Kabupaten Malang dipecah menjadi kabupaten dan Kota Malang,” terangnya.

Dirinya menegaskan salah kaprah jika Malang berasal dari Malang Kucecwara. Mengingat Malang Kucecwara itu merupakan suatu bangunan suci yang terdapat juga di beberapa daerah seperti Kedu Selatan atau Magelang Utara dan di Candi Perwara yang ada di Candi Prambanan.

“Artinya teori yang dipakai, pendapat yang dipakai oleh Pemerintah Kota Malang dari Malang Kucecwara, itu pendapat basi sudah seharusnya ditinggalkan. Jadi salah kaprah,” tukasnya. (MD01)

Berita Lainnya

Index